Stabilisasi Harga Daging
Sapuan Gafar
Mantan Wakil Ketua Bulog
Akibat pelaksanaan kuota impor daging tahun 2012, terjadi
lonjakan harga daging dalam 4-5 bulan terakhir. Untuk mengatasinya,
akan ditempuh berbagai langkah, antara lain melalui tender impor daging
(Kompas, 26/2/2013). Tulisan ini mencoba memetakan masalah
menyangkut ternak atau daging, dikaitkan dengan upaya stabilisasi harga
daging, dan perlu tidaknya kebijakan kuota impor daging.
Sebenarnya
setelah kewenangan Bulog diamputasi pada tahun 1998, ada salah satu
tugas yang belum tertangani secara sistematis, yaitu tugas untuk
menstabilkan harga daging di wilayah DKI Jakarta. Setelah mendapat
mandat pada Sidang Kabinet tahun 1974, Bulog melakukan studi pemetaan
masalah daging/ternak. Kesimpulannya, terdapat gangguan pasokan ternak
pada bulan puasa dan Lebaran, kekurangan sarana angkutan dan tempat
istirahat sapi, dan gangguan pada saat ternak diangkut.
"..Jadi Sejak 1974 loh masalah akut penyebab ketidakstabilan harga daging itu sudah di Temu_kenali..".
Oleh
karena itu, Bulog menjalankan sejumlah langkah :
Pertama, memilih waktu
kapan Bulog harus turun tangan. Melihat karakter pergerakan harga
daging/ternak, maka saat itu dipilih waktu menjelang puasa dan Lebaran
serta menjelang Natal dan Tahun Baru. Dengan demikian, pilihan waktunya
tertentu.
"....Akses jalan raya masih segitu-gitu ajah... makin macet cet.. jadi wajar menjelang Hari Raya, Armada Truk Sapi makin malas dan terbatas kelincahannya dalam nganterin pasokan gara gara si Komo Lewat... "
Kedua, Bulog membangun sarana holding ground atau semacam
"hotel sapi" di Cibitung, Bekasi, untuk tempat istirahat ternak sapi
sebelum dimasukkan ke rumah pemotongan hewan (RPH). Sewaktu
diangkut dari Jawa Tengah/Jawa Timur atau tempat lain, umumnya sapi-sapi
menderita stres dan berkurang beratnya. Untuk itu, sapi-sapi tersebut
perlu diistirahatkan dulu di Cibitung untuk dipulihkan kondisinya.
Keberadaan holding ground sapi di Cibitung sangat membantu pedagang sapi
dan akhirnya berkembang menjadi semacam pasar sapi.
Mungkihkan PeternakanSaKaDo jg menjadi Hotel Sapi ?
Ketiga, membangun komunikasi dengan para pihak yang berkepentingan, terutama Direktorat Jenderal Peternakan yang mengelola alokasi ternak yang diperbolehkan keluar dari suatu provinsi. Hal yang sama dilakukan dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat untuk penyediaan kapal dan gerbong kereta api apabila terdapat kesulitan angkutan ternak. Selanjutnya, banyak berkomunikasi dengan Persatuan Pedagang Hewan Indonesia, perwakilan Himpunan Pedagang Daging, perwakilan RPH DKI (PT Darmajaya), dan sebagainya.
" .... Jika kita punya Kucing Anggora.... beranikah kita menyampurnya dengan Kucing Kampung yg tidak pernah dirawat ? perpindahan penyakit pasti ada resiko nya.. Begitu juga sapi.... Sapi Liar dari daerah Timur bisa jadi membawa resiko dengan sapi -sapi manja yang biasa di pelihara peternak di kandang... "
Keempat, membuat perencanaan untuk stabilisasi harga daging. Perencanaan yang dibuat hanya untuk 50 hari, yaitu 40 hari sebelum hari-H dan 10 hari setelah hari-H. Kemudian dibuat prognosis hari per hari kebutuhan ternak di DKI Jakarta menjelang puasa/Lebaran dan Natal/Tahun Baru. Setelah itu dilakukan pemantauan harian atas pemasukan ternak melalui RPH dan holding ground ternak di Cibitung dan lain-lain.
"... nah ini yg asyik.. program tunda potong untuk stabiliasi harga biar lebaran bisa makan rendang.. "
Masalahnya sampai skarang kandang masih kosong...
terancam ga bisa makan rendang lagi dech..
#... Rendang Kambing enak kali ya.. #
Untuk kelancaran
angkutan ternak terkait pelaksanaan rencana 50 hari tersebut, Bulog
mengeluarkan stiker "Ternak Milik Bulog" yang ditempelkan pada truk
pengangkut ternak. Menurut para pedagang ternak, dampak stiker tersebut
sangat efektif: tidak ada yang berani menyetop truk pengangkut ternak
yang ditempeli stiker tersebut. Cara seperti itu, apabila dilakukan
sekarang ini, mungkin akan ada yang mempersoalkan dari segi hukum. Pada
saat itu cara tersebut sangat efektif untuk mengurangi pungutan di
jalan.
"... Jgn sampai kaya truk kandang kita.. pas pick season malah mogok di tol..... "
Langkah ke depan
Secara umum keadaan sekarang ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan keadaan 20 tahun yang lalu, hanya sekarang masalahnya lebih kompleks dengan berkembangnya pasar modern dan dominannya impor daging dan ternak. Sebagaimana diketahui, peternak kita yang hanya memiliki 3-5 ekor sapi berhadapan dengan peternakan yang memiliki ribuan ternak.
"Karena kita TIDAK MENGETAHUI faktor kegagalan-kegagalan untuk menjadi peternak, maka kita menganggap KEGAGALAN ITU TIDAK ADA
(Baca Kuliah Umum Dosen Imajiner Luar Biasa @SaKaDo_Academy : Tony_sapi).."
Pola penjualan petani juga hanya 1-2 ekor, yang berarti biaya pengumpulannya mahal. Belum lagi petani menghadapi liku-liku para belantik di pasar. Jika tidak dijual melalui belantik, tidak ada yang menawar. Dalam angkutan ternak juga terdapat pungutan di berbagai pos penjagaan. Akhirnya semuanya menimbulkan biaya tinggi. Mereka akan kalah dari peternakan besar, apalagi dari ternak impor.
".... Dengan kondisi di atas.. hanya yg bermental PAHLAWAN TANPA TANDA JASA yg berani terjun ke bisnis sapi.. "
Setelah tahun 2000, impor ternak dan daging terus tumbuh
dan akhirnya pada 3-4 tahun terakhir sudah mendesak peternak kecil.
Sebagai catatan, di Yogyakarta hingga Idul Adha tahun lalu harga ternak
masih relatif rendah. Untuk hewan kurban setara dengan tujuh ekor
kambing masih dapat dibeli dengan harga Rp 7,5 juta sampai Rp 8,5 juta
per ekor, tetapi saat ini harganya minimal mencapai Rp 11 juta per ekor.
Kenaikan harga daging akhir-akhir ini sangat memukul para pengguna
daging sapi.
Oleh karena menyangkut nasib ribuan peternak kecil
dan ribuan pedagang bakso dan lain-lain, stabilisasi harga daging sangat
diperlukan. Selain itu, daging merupakan sumber protein penting untuk
peningkatan mutu gizi penduduk. Apalagi konsumsi daging saat ini masih
rendah, di bawah 2 kilogram per kapita per tahun. Dari dimensi waktu,
stabilisasi harga daging diperlukan, tidak hanya menjelang bulan
puasa/Lebaran dan hari Natal/Tahun Baru saja, tetapi sepanjang tahun.
Daerahnya pun lebih luas lagi, khususnya non-sentra produksi ternak.
Dengan
akan diubahnya pelaksanaan impor daging dengan cara tender, apakah
stabilisasi harga daging akan terjamin? Kebijakan kuota impor
dimaksudkan untuk mencegah peternak dalam negeri tidak terpukul oleh
impor daging. Untuk itu, jumlah yang diimpor harus diatur agar tidak
memukul peternak kita, tetapi juga tidak terlalu tinggi bagi pengguna
daging. Dengan demikian, yang akan ditenderkan nanti adalah kuota impor
daging.
Di negara tetangga kebijakannya berupa tarif kuota yang dikombinasikan dengan bea masuk yang dapat naik/turun atau kuotanya yang fleksibel. Oleh karena kebutuhan daging berjalan sepanjang tahun, tender atas kuota impor daging harus dapat memenuhi kekurangan pasokan untuk sepanjang tahun. Karena itu, tender terhadap kuota impor daging tidak mungkin hanya dilaksanakan dalam satu kali tender dalam setahun, tetapi minimal tiga kali tender dengan memerhatikan kejadian penting yang dapat membuat harga bergejolak. Selain itu, untuk membatasi terus bertambahnya importir daging yang mengikuti tender, disarankan importir adalah yang memiliki kaitan dengan program peningkatan produksi, khususnya pembibitan sapi yang merupakan titik terlemah industri peternakan kita.
".. Ada yg tahu berapa gelintir kira-kira yg bisa masuk syarat di atas..... ? "
Hal yang sama dilakukan untuk importir gula
kristal putih, di mana yang diperbolehkan mengimpor adalah importir
produsen. Sudah barang tentu pelaksanaannya bertahap agar mereka bersiap
diri. Diharapkan yang akan menjadi importir daging adalah bukan
pedagang kelontong yang memperdagangkan izin impor.
Selain itu, masih ada masalah penting yang belum digarap, yaitu stabilisasi harga menjelang puasa/Lebaran dan Natal/tahun baru. Permasalahan yang ada sebenarnya masih mirip dengan yang ditangani Bulog yang lalu, hanya sekarang faktor impor daging dapat dipakai sebagai penentu. Stabilisasi harga daging "model Bulog" dulu juga masih relevan, dengan penyesuaian-penyesuaian tentunya. Sekarang ini pelibatan RPH milik pemda juga sangat penting sebagai pelaksana stabilisasi harga daging. RPH tersebut perlu direvitalisasi dan Pemprov DKI Jakarta mampu melaksanakan tugas sebagai salah satu pelaksana, termasuk untuk membangun holding ground sapi yang lebih representatif di luar DKI Jakarta.
Masalah
lembaga yang menangani operasional stabilisasi, harga khususnya untuk
menentukan kuota, pemantauan pemasukan impor daging secara hari per hari
dan melaksanakan koordinasi pelaksanaan stabilisasi harga menjelang
puasa/Lebaran dan Natal/Tahun Baru, perlu dipikirkan. Sebaiknya lembaga
yang menangani tidak bias ke produsen, pedagang, dan konsumen. Harga
daging harus memberikan insentif kepada peternak agar bergairah untuk
meningkatkan produksi, tetapi harganya pun terjangkau konsumen.
Sebaiknya
yang mengoordinasikan stabilisasi harga daging dan memantau harga dan
pemasukan impor daging adalah staf yang berada di bawah Menko
Perekonomian. Dulu Bulog dengan jaringan koperasi dan PT PP
Berdikari yang "dikuasainya" berencana akan menuju ke sana, tetapi kewenangan Bulog diamputasi tahun 1998 oleh Dana Moneter Internasional (IMF) #..inilah POLITIK DAGING SAPI yg sebenarnya...#
Dalam jangka panjang, untuk menangani stabilisasi harga daging,
mungkin dapat digerakkan beberapa BUMN dan BUMD, tetapi perlu waktu
untuk pelaksanaannya. Masalah yang mendesak dipikirkan karena sudah ada
di depan mata adalah dalam 4-5 bulan lagi kita menghadapi bulan puasa
dan Lebaran. Apakah kita menunggu harga daging naik lagi di atas Rp
100.000 per kilogram, dan kita semuanya hanya terpesona dengan kasus
korupsi impor daging sapi? Jangan salahkan nanti kalau rakyat marah.
Sapuan Gafar Mantan Wakil Ketua Bulog
================================================================
Jadi kalo peternak dan pedagang daging saja merugi.. jadi SIAPA yg untung dong dalam persapian ini.. ?? ini bukan jebakan rambo .. tapi namanya TEKA TEKI RAMBO ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar